Selasa, November 15, 2011

Batu Festival di Unhas: Sebuah solusi (?)


Sebuah bentrokan yang terjadi dalam sebuah masyarakat bukanlah terjadi tanpa alasan. Termasuk bentokan antar mahasiswa yang baru-baru saja terjadi di Universitas Hasanuddin. Entah itu karena alasan ketersinggngan antar mahasiswa baru dari dua kubu yang sedang bertikai atau peristiwa masa lalu yang sudah mengakar tumbuh kembali menyulut pertikaian. Dan hanya diperlukan sedikit percikan api masalah untuk memicunya kembali karena pada dasarnya mereka sudah saling membenci.
 Adalah sebuah rahasia umum bahwa setiap tahun selalu terjadi bentrokan antar mahasiswa di kampus tersebut. Entah itu fakultas Teknik melawan salah satu fakultas lainnya di Unhas, ataupun Teknik melawan “koalisi” fakultas yang diserangnya.
Selalu tidak bisa disimpulkan bahwa siapa yang memulai bentrokan tersebut, tahu-tahu bentrokan sudah terjadi didepan mata. Sebagai salah satu bagian dari kelompok mahasiswa yang bertikai, mahasiswa yang merasa terpanggil  kemudian bersatu untuk melakukan penyerangan. Sehingga bentrokan yang terjadi bagaikan sebuah festival yang menjadi tontonan banyak mahasiswa lainnya yang tidak melibatkan diri secara langsung, namun mengutuk dalam hati.
Lebih lanjut, saya akan menyebutnya sebagai “Festival Tahunan Unhas” supaya lebih terdengar positif. Namun, berbeda dengan festival serupa yang dilakukan diberbagai belahan dunia festival tahunan unhas ini menggunakan batu sebagai medianya. Ketika orang-orang dibelahan dunia lain menggunakan festival semacam ini untuk bersenang-senang, misalnya festival melempar tomat yang diadakan di spanyol atau festival Holi di India, kegiatan seperti ini dilakukan untuk bersenang-senang. Berbeda sekali dengan festival yang baru-baru ini terjadi di unhas, dimana melempar batu tujuannya untuk melukai sesame insan akademika.
lautan tomat

terjatuh dengan senyum

bersenang-senang

perlengkapan untuk Batu Festival unhas

terjatuh dan pastinya terluka

bahkan satpam-pun turun tangan

lihat senyumnya, beda dengan festival batu unhas!

tersenyum!!

bahkan anak-anak pun ikut, tapi jangan di festival batu unhas!

 Sehingga jika memungkinkan untuk memberikan sebuah solusi mesipun solusi ini kelihatan konyol, namun semoga dapat memberikan sebuah inspirasi untuk unhas yang lebih damai. Jika sebuah festival membutuhkan tempat yang luas, maka lapangan sepak bola unhas dapat digunakan sebagai medianya. Adapun yang dilemparkan jangan lagi batu, karena jujur saja pasokan batu untuk tawuran setiap tahun semakin berkurang. Jadi sebagai saran, gunakan saja air berwarna yang dibungkus dengan plastik sehingga tidak akan melukai orang yang dikenainya.
Jika pihak rektorat berkenan, festival ini dapat dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan Dies Natalis Unhas yang diperingati setiap tahunnya. Peserta festival dapat diambil dari mahasiswa baru tiap fakultas, selain untuk mengakrabkan mahasiswa baru dari tiap fakultas yang berbeda, juga untuk mengurangi citra unhas yang terlanjur buruk atas kejadian ini tiap tahunnya.

Kamis, Oktober 27, 2011

MAJU BOTAK, SI GONDRONG DI BELAKANG DULU!!! PERANG SARAF DIBELAKANG KONFLIK LATEN MAHASISWA


Kampus merupakan sebuah prototipe sebuah lingkungan masyarakat yang lebih besar. Sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang. Masyarakat kampus yang kemudian disatukan dalam satu universitas kemudian dibagi lagi kedalam berbagai fakultas yang ada, dan didalam fakultas tersebut dibagi lagi kedalam berbagai jurusan berdasarkan pilihan masing-masing mahasiswa sebagai warga masyarakat kampus.
Sangatlah bisa dipahami dalam keanekaragaman mahasiswa dari latar belakang tersebut terjadi konflik-konflik yang berkembang. Latar belakang yang dimaksudkan adalah kondisi eksternal yang bisa memicu terjadinya konflik dalam masyarakat, yaitu SARA. Namun, jika dalam konteks masyarakat kampus penyebab konflik ini bisa saja masalah SARAF. Mengingat permasalahan yang terjadi setiap terjadinya konflik (baca: tawuran) disetiap kampus atau universitas akan berbeda penyebabnya. SARAF merupakan singkatan dari suku, agama, ras dan antar fakultas.
Pasukan garis depan, MABA!

Si gondrong di depan

Terdapat pola-pola tersendiri yang menjadi ciri setiap konflik yang terjadi dalam sebuah institusi pendidikan tinggi. Walaupun pola ini tidak terjadi secara beraturan. Dalam konflik yang terjadi karena masalah suku misalnya, hal yang melatarbelakangi pada awalnya hanya konflik antar individu, yang kemudian meluas menjadi konflik antar suku atau antar daerah. Hal ini sangat serng terjadi mengingat bahwa disekitar wilayah kampus tersebar sekretariat-sekretariat yang mewadahi setiap mahasiswa dari daerah masing-masing atau dikenal dengan nama ORGANDA. Sehingga konflik ini biasanya terjadi diluar lingkungan kampus.

Rabu, Oktober 26, 2011

PAK OGAH YANG TAK TAHU OGAH-OGAHAN

            "Yak, woi.. tahan dulu mobil yang dari situ", seru salah seorang pemuda dengan perawakan yang kurus, muka agak sangar, celana penuh tempelan, rambut diikat kebelakang.
            "Sudah aman", jawab temannya, juga dengan tampang yang tak jauh beda.
            "Ya, terusmi bu, terus....terus... Yak", aba-aba pemuda yang pertama memberikan instruksi kepada seorang ibu paruh baya yang bersandar di belakang kemudi toyota Avanza. Kaca mobil depan diturunkan, si ibu paruh baya tersebut mengeluarkan selembar uang dengan gambar seorang pahlawan dari maluku.
            "Terima kasih, bu. Salama'ki", lanjut pemuda itu dengan sopan.

  Pemandangan seperti kejadian di atas bukanlah hal yang asing kita jumpai di ruas jalan kota yang berjuluk Kota Daeng ini. Utamanya sepanjang jalan Urip Sumoharji-Perintis Kemerdekaan. Selain karena memang daerah tersebut terkenal sebagai sarang kemacetan, juga karena adanya berbagai titik bukaan jalan yang diperuntukkan bagi pengguna jalan yang ingin memutar arah. Dengan gaya bak polisi lalulitas, sekelompok pemuda tanpa pekerjaan tetap ini menjaga serta mengatur tertibnya lalu lintas kendaraan serta kendaraan yang hendak memutar arah sebaliknya.
  Kelompok kecil ini biasanya berjumlah antara 3-6 orang personil yang menjaga setiap titik bukaan jalan. 1-2 orang bertugas untuk memberikan isyarat kepada pengguna jalan dari arah yang berlawanan agar dapat memelankan kendaraannya sehingga kendaraan lain bisa memutar arah, 1 orang lagi bertugas memberi arahan atau instruksi kepada pengemudi kendaraan yang hendak berbelok, sisanya bertugas mengumpulkan "hadiah" yang diberikan sebagai balas jasa mereka.
Pak Ogah bisa kaya raya nih...

Bah, sikat pak...

300xputaran, wah pusing ngitungnya....

ini dia nih contoh yang tidak baik bagi anak
  Dalam perkembangan selanjutnya, sekelompok orang yang berprofesi seperti ini dijuluki sebagai "Pak Ogah". Belum diketahui pasti asal-usul mengapa mereka diberi julukan seperti sebuah tokoh boneka dari serial "Si Unyil" ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa akhirnya muncul sekelompok orang yang sepertinya hendak menggantikan tugas polisi untuk mengatur lalu lintas.

Minggu, Oktober 23, 2011

MAS KAWIN : ANTARA CINTA, PRESTISE & MISKONSEPSI

          Perjalanan sebuah kisah cinta memang sangat menarik untuk diceritakan. Sebuah perjalanan yang begitu menantang bagi pasangan mda-mudi agar dapat bersatu didepan altar suci, mengucapkan ikrar untuk tetap setia sehidup semati. Dengan mengesampingkan semua perbedaan yang ada sehingga dihadapan mereka hanyalah keindahan, laksana taman bunga yang menentramkan jiwa.
Alangkah indahnya bagi kita, jika menjadi insan yang sedang dimabuk cinta. Rasanya, bagai dunia ini milik berdua dan yang lainnya hanyalah figuran semata. Namun, hal tersebut hanyalah ungkapan puitis saja. Karena dikehidupan nyata selalu saja ada faktor penghalang bagi bersatunya dua insan yang saling mencinta. Faktor penghalang tersebut ada yang sifatnya fisik seperti harta, jabatan, kaluarga, dsb. Juga ada yang sifatnya non-fisik seperti pranata-pranata yang berlaku dimasyarakat tertentu, status sosial, dan adat istiadat.
Satu hal yang saya sangat tertarik disini adalah melihatnya dari faktor non-fisik terutama dari adat istiadat. Saya melihat peran adat istiadat dalam menyatukan atau bahkan memisahkan dua insan ang saling mencinta ini. Nah, salah satu hal yang terkandung dalam hampir setiap adat istiadat etnik-etnik di Indonesia adalah Mas Kawin. Berbicara mengenai adat istiadat, tak lepas kita membicarakan sikap yang secara fundamental ditonjolkan, yakni masalah etis. Etis adalah sebuah sikap yang mengatur pantas tidaknya sebuah tindakan dilakukan. Oleh karenanya, saya berusaha mengungkapkan begaimana Mas Kawin sebagai bagian dari adat istiadat serta dianggap sebagai sikap yang etis dapat berpengaruh pada hubungan antar dua insan yang saling mencintai.

MAS KAWIN : SELAYANG PANDANG
Sebelum saya paparkan lebih jauh mengenai pengaruh adat istiadat terhadap hubungan dua insan yang saling mencintai, alangkah baiknya jika saya terlebih dahulu menguraikan konsep Mas Kawin menurut pendapat beberapa ahli dan paparan mistis yang terdapat pada berbagai kebudayaan etnik masyarakat yang ada di Indonesia.
Dalam pandangan G.A. Wilken (1847-1891) dikatakan bahwa Bruidschat atau mas kawin adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pihak lelaki kepada kerabat si Gadis pujaannya dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam karena salah seorang gadis diantara mereka dilarikan atau di Bruidschaking (melarikan anak gadis). Karena kalau tidak seperti itu, maka setiap lelaki yang hendak menjadikan seorang Gadis sebagai istrinya, harus mendatangi dan berdiam dirumah sang Gadis. Tentu saja hal ini tidak disenangi dan dirasa menjengkelkan sehingga dirasa perlu untuk melarikannya kerumah lelaki.

Sabtu, Oktober 22, 2011

IKAN SEBAGAI IKON BARU KORUPTOR: ANALISIS SIMBOL DALAM BEDAH FILM “ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI”

Seekor tikus sedang berlari menghindari penglihatan manusia. Tikus itu berlari kedalam sebuah terowongan air kecil yang sudah sangat dikenalnya. Si tikus terus berada disana, bersembunyi. Tikus memang dikenal sebagai binatang yang pintar bersembunyi, bahkan di tempat yang ramai sekalipun. Tikus ini sangat lihai dalam menyembunyikan dirinya. Ilustrasi tentang tikus diatas hanyalah sebagian kecil dari berbagai ilustrasi yang dapat kita tampilkan dari realita hidup saat ini. Sebuah ilustrasi yang secara tidak langsung menyampaikan sebuah informasi, ide, karakter atau bahkan sifat seseorang berdasarkan simbolisasi yang diberikan.
Dalam sebuah bedah film yang diselanggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (IMSI) pada Senin (17/10/11), dengan judul film ‘Alangkah lucunya Negeri ini’ karya Dedi Mizwar, saya melihat ada begitu banyak simbolisasi yang menarik perhatian saya. Salah satunya adalah karakter pemeran calon anggota dewan dari sebuah partai politik dengan nama Partai Asam Lambung, nomor urut 212. Dimana ditampilkan secara berulang, setiap karakter ini muncul dalam adegan bertamu ke rumah gadis idamannya, setiap kali pula dia memamerkan Laptopnya dengan screen saver gambar ikan yang berenang. Hal lainnya yang saya tertarik adalah dalam adegan berikutnya, dia tidak lagi memamerkan screen saver­-nya, melainkan sebuah permainan komputer, Pacman.

Dengan keyakinan bahwa, setiap potongan adegan yang diambil tidaklah diambil begitu saja. Melainkan ada pesan, ada makna yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Bertolak dari penjelasan diatas, setidaknya kita mempunyai tiga simbolisasi yang dapat kita identifikasi, yakni; partai politik dengan nama Parta Asam Lambung dan nomor urut 212, Laptop dengan screen saver ikan yang berenang, serta ada apa dengan permainan Pacman dan mengapa bukan permainan komputer yang lain.

Minggu, Juni 12, 2011

Analisis Iklan Star Mild “Seeing is Believing”

A.  Pendahuluan
Kata iklan didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berita pesanan untuk mendorong, membujuk kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; iklan dapat pula berarti pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang didalam media massa seperti surat kabar dan majalah (KBBI:322)

Sebuah iklan merupakan alat komunikasi untuk mempromosikan sebuah produk ke khalayak masyarakat dengan tujuan mengikat calon pembeli untuk jangka panjang. Hal ini sering kita jumpai di setiap persimpangan jalan, baik itu berupa baligho, spanduk, umbul-umbul, dan sebagainya yang biasanya berupa teks dan juga gambar.
Salah satu produk yang menggunakan cara diatas adalah iklan dari produk rokok Star Mild dengan slogan iklan terbarunya “Seeing is believing”. Tentu saja banyak orang akan bertanya-tanya tentang arti kata-kata dari iklan tersebut. Setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda dan tidak jarang mengakui bahwa jawabannya-lah yang paling benar.
Dalam hal, penulis mencoba menggunakan asumsi tersebut diatas dalam rangka menganalisis makna kata-kata dalam iklan Star Mild tersebut. Penulis merupakan salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri yang ada di Makassar dan mengambil Sastra Inggris sebagai Program Study. Dalam hal penulis menganalisis iklan ini, penulis menggunakan analisi semiotik serta hubungan-hubungan dengan realita.
Sengaja penulis memilih iklan rokok Star Mild karena iklan tersebut lebih banyak menggunakan kata-kata dalam bahasa inggris, berbeda dengan iklan rokok sejenis pada umumnya yang juga beredar di Indonesia.
Iklan Star Mild       

Selasa, Mei 24, 2011

Nama & Kekhawatiran hilangnya Budaya Lokal

Sebuah nama merupakan hal yang begitu penting dalam kehidupan. Nama merupakan hal yang membedakan seseorang dengan seseorang yang lainnya. Apalah jadinya jika didunia ini ada orang yang tidak mempunyai nama, maka orang tersebut tidak dapat dikenali, tidak dapat diidentifikasi. Sesuai dengan ungkapan emas sang penulis naskah drama , William Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”.
Fungsi utama dari sebuah nama adalah fungsi identifikasi. Nama memiliki fungsi referensial, yang membantu kita mengenali seseorang yang memiliki nama tersebut. Fungsi referensial merupakan suatu fungsi bahasa dimanaApakah dia itu adalah teman, pengamen, tukang bakso, pengacara, suster, atau orang yang baru dan belum kita  kenal. Bahkan lebih jauh, kita dapat mengidentifikasi asal orang tersebut hanya dengan berdasarkan nama mereka.
Cukup jelaslah bagi kita dapat dengan mudah mengidentifikasi nama-nama seperti Sumarno, Tarmiyem, Sartono adalah nama-nama asal Jawa; nama-nama seperti Situmorang, Pakpahan, Simanjuntak adalah nama-nama dengan karakter Batak, Sumatra; dan juga nama-nama seperti Baco’, Becce’, Sitti, Marpu’e adalah nama-nama dengan karakter Bugis-Makassar.
Bukan hal itu saja, pemberian nama-nama tersebut bukanlah langsung diberikan begitu saja. Melainkan dengan serangkaian upacara yang setiap daerah mempunyai adat dan kebudayaan mereka masing-masing dalam pemberian nama. Sehingga pemberian nama ini tidak lepas dari khasanah kebudayaan lokal.
Namun, jika kita melihat konteks kekinian terutama pada budaya Bugis-Makassar, hal ini telah tereduksi secara struktural dimana sebuah nama semakin hilang fungsi referensialnya. Nama-nama dengan karakter lokal semakin tergerus oleh indahnya peradaban asing yang menggerogoti lewat media informasi. Faktor media jugalah seperti televisi yang menyebarkan infotainment yang mengispirasi ibu-ibu muda memberikan nama pada anaknya sesuai dengan karakter yang ada pada sinetron.
Hal ini mengisyaratkan bahwa “nama” bukan lagi sebagai hal yang penting dalam sudut pandang budaya. Dimana semakin lunturnya nama-nama yang menunjukkan identitas sebagai suatu bangsa. Nama-nama seperti Baco’ dan Bacce’ dianggap kuno dalam zaman sekarang ini. Tentu saja ada pertimbangan lain nama-nama diatas kurang disukai oleh masyarakat Bugis-Makassar, terutama dari sudut pandang apakah nama itu tidak menimbulkan rasa malu dikemudian hari bagi pemiliknya (Prestisius atau tidak).
Ternyata bukan hanya hal tersebut yang terjadi sehubungan dengan fungsi nama yaitu fungsi referential. Kadangkala dalam sebuah komunitas, "nama" indah yang diberikan tereduksi oleh ciri-ciri fisik yang dimiliki empunya nama. Contoh dalam aktivitas mahasiswa di kampus, kita memanggil "kribo" kepada orang-orang yang memiliki rambut keriting yang merupakan ciri fisiknya. Tentu saja hal ini juga termasuk fungsi referential, namun belum bisa dikategorikan secara substansial dari yang kita bahas sebelumnya.
Tentunya anda pernah mendengar nama "I Mallombasang daeng Mattawang" atau "Karaeng Pattingalloang", nama-nama lokal yang mempunyai pengaruh besar dalam mengangkat khasanah lokal. Terlepas dari fungsi referential sebuah nama yang langsung mengarahkan kita bahwa orang yang dimaksud pasti berdarah Makassar. Sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang dengan menjamurnya teknologi informasi yang telah membri andil dalam pemberian "nama non-referntial" bagi anak-anak yang lahir di zaman baru.
Alangkah besar tanggung jawab kita sekarang, ditengah gencaran infotainment dan acara TV lainnya, mampukah kita mempertahankan khasanah budaya lokal yang semakin tereduksi? Alangkah indahnya jika kita ikut andil dalam pelestarian budaya lokal, dimulai dari sebuah nama. Bagaimana Baco?

Selasa, April 19, 2011

SOKTATOLOGY

Secara etimologi, Soktatology terdiri dari pencampuran dua bahasa. "Sokta", dalam bahasa pergaulan masyarakat merupakan blend word yang diadopsi dari bahasa Indonesia, "sok tau". "logy" berasal dari bahasa Yunani "logos" yang berarti ilmu. Jadi, "Soktatology" merupakan cabang ilmu yang mempelajari dan menggunakan rasa "sok tau" ini dalam menyelesaikan dan menjawab pertanyaan yang muncul. Setara dengan ilmu ini, yaitu "Somengtology", merupakan ilmu yang diaplikasikan dengan cara "sok mengerti" dengan segala masalah yang ada sehingga dengan begitu dapat terhindar dengan segera dari masalah selanjutnya.



Kamis, April 14, 2011

Mengukir suara anak jalanan

Bukanlah pemandangan yang asing yang kita bisa jumpai di "kota daeng" jika bepergian ketempat-tempat umum, seperti taman, pantai Losari, tanjung bunga, dan semua tempat rekreasi disekitar kota makassar, kita akan menjumpai para pengamen cilik. Pengamen cilik ini begitu mudahnya kita jumpai, bahkan di jalan pun dapat dijumpai. Sebut saja di lampu merah di bawah Fly Over jalan Urip sumoharjo..  Disana kita bisa jumpai beberapa pengamen yang masih berusia belia.

Hal yang serupa pun dapat kita jumpai di Pantai Losari. Selain mengganggu kenyamanan suasana "berdua" sambil menikmati suasana kota makassar di waktu malam, terkadang juga pengamen cilik ini memaksa supaya diberi "tip", alasannya karena kita tidak menyuruh mereka berhenti sebelumnya ,"kenapa ki tidak bilang-bilang sebelumnya ces, capek-capek tommaki menyanyi".


Semakin bertambahnya jumlah pengamen cilik ini bukan tidak diperhatikan oleh pemerintah makassar. Melalui departemen sosial, pemerintah sudah melakukan segala cara yang dianggap perlu untuk mengatasi masalah ini. Namun, sebagai masyarakat yang tanggap sosial, kita tak seharusnya menganggap bahwa masalah ini sepenuhnya tanggung jawab departeman sosial. Perlu ada cara yang dilakukan bersama agar masalah ini dapat diatasi, atau minimal dikurangi mengingat adanya program Visit Makassar Year 2012.

Yang menjadi permasalahan kemudian adalah, ketika cara 'mengamen' ini juga di implementasikan oleh Mahasiswa sebagai salah satu cara untuk mengumpulkan dana pada kegiatan kampus yang akan dilaksanakannya. Hal ini tentu saja membuat beberapa masalah baru. Tengok saja timbulnya kemacetan dibeberapa titik di Makassar, selain menjadi titik kemacetan tentu juga dapat menjadi kesempatan terjadinya tindak kriminal.

Apalagi dengan sudah terbitnya peraturan daerah terkait larangan mengamen dijalan. Hal ini tentu saja semakin memberikan batasan kepada anak-anak untuk turun dijalan buat mengamen. Namun, permasalahan terus saja bertambah. 

Senin, April 11, 2011

POTRET

Bergaya dalam balutan baju ketat serba ungu, memakai sepatu dengan "pondasi" kaki yang lumayan tinggi, meleggak-lenggok bak pragawati diatas catwalk. Sekilas itulah gambaran sosok yang saya temui di sekitaran flyover yang baru rampung tahun lalu itu. Dia menyebutkan namanya sebagai "Tini", seorang gadis belia yang jika saya tidak salah prediksi usianya baru berumur 15-16 tahun. Umur memang masih sangat muda, namun penampilan serta gaya bahasanya, sangatlah jauh berbeda.

Sangatlah kontras jika kita bandingkan dengan anak-anak yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Disimpang empat, tempat dimana sebuah tiang lampu yang memasang warna hijau, kuning, merah. Berdiri sambil menjajakan koran sedari tadi pagi. Yang lainnya mencoba peruntungan dengan cara menyanyikan beberapa lagu yang menurut kebanyakan orang disebut sebagai mengamen.

Disisi lain dari tempat itu, masih di skitar tempat yang sama namun kita bergeser sedikit ke sebuah bangunan pos polisi. Kudapati beberapa orang anak yang lagi istirahat, dengan beralaskan seadanya, karton bekas, kain sarung yang mereka bawa dari rumah, ataupun cuma beralaskan daun.

potret penggambaran di atas merupakan hal yang saat ini sudah sangat sering kita jumpai. Teutama pada jalan tersebut. Potret di atas merupakan potret anak-anak yang hidup dan menggantungkan hidupnya di jalan. Jalanan yang begitu berbahayanya, mengingat usia mereka yang masih begitu muda, dan begitu rentan untuk menerima segala macam bentuk kekerasan dan eksploitasi.

Sebuah hal yang sangat menyulitkan adalah ketika kita berhenti tak jauh dari mereka berdiri. Dari jauh kita memperhatikan betapa menderitanya mereka.Kita tahu itu. Mungkin ada sebagian orang yang merasa kasihan sama mereka dan kemudian menyodorkan uang seribuannya. Disatu sisi bahwa, ada larangan dari pemerintah untuk tidak memberi uang pada pengemis dan pengamen jika lagi berada dijalan.

Namun, hal ini tampaknya tidak berdampak begitu berarti dala masyarakat kenapa, terdapat masih banyak  orang yang memberi uang dijalan yang tentu saja kalian percaya atau tidak bahwa dengan memberi uang pada mereka maka anda setuju dengan bentuk exploitasi anak. 

Sabtu, April 09, 2011

Anak dan Pernikahan Dini

Bertolak dari membaca salah satu artikel dari blog-nya teman yang menyinggung tentang pernikahan dini, saya langsung mendapatkan inspirasi untuk menuliskan tentang hal itu yang tentu saja kaitannya dengan anak. Juga melihat pengalaman-pengalaman beberapa sejawat yang telah mengalaminya. Pada dasarnya, pernikahan dini terjadi  karena 2 faktor utama.


Pertama, adalah faktor orang tua. Orang tua yang terlalu konvensional dan memaksakan kehendaknya kepada anaknya, termasuk juga mengenai dengan siapa dia akan menikah. Terkadang yang salah, seperti menjodohkan anak mereka diusia yang sangant belia. Sering kali, anak-anak yang menjadi korban atas pertimbangan orang tua yang mengatasnamakan kepentingan keluarga. Terutama pada budaya keluarga Makassar yang masih tinggal di daerah yang terpencil, pernikahan pada usia dini bukanlah hal yang luar biasa.

Kedua, adalah dari anaknya itu sendiri. Penyebab utamanya adalah pergaulan yang terlampau bebas dan tanpa pengawasan dari orang tua, sehingga anak terjerumus ke pergaulan yang salah. Akibatnya, terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang memaksa keadaan untuk melaksanakan pernikahan dini.

Nah, apa akibat dari pernikahan dini?
Ada bebarapa akibat dari pernikahan ini khususnya terhadap anak itu sendiri.
  1. Dampak biologis. Secara usia, organ reproduksi anak belum siap untuk melakukan hubungan seks. Kalaupun dilanjutkan, hal itu akan menyebabkan kesakitan terhadap anak, sehingga berdampak pada kesehatan dan psikis anak. Apalagi jika sampai hamil dan melahirkan pada usia yang masih belia tersebut. Pemaksaan hunbungan intim dapat menyebabkan robeknya organ intim yang dapat menyebabkan infeksi dan tentu saja hal itu membahayakan kesehatan sang anak. Apalagi dalam hubungan intim tersebut terjadi unsur pemaksaan, terkesannya terjadi pemerkosaan.
  2. Dampak psikis. Anak, segala lagi merupakan usia yang rentan. Dalam hal ini, mereka belum mengetahui apa-apa tentang seks. Jadi ketika dia tiba-tiba menjadi seorang istri di usianya yang sangat muda, hal ini menjadikan dia minder untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya.

Jumat, April 08, 2011

Can You see them?

                                                            
victims of conflict


                                                                  
we need a real home


                                                             
i dont want to be a child soldier

                                                             
child refugees in barrack

                                                                          
tragic in life

                                                               
Just go !!!


                                                                  
ssstt, they come


                                                       
hug me madam

Kamis, April 07, 2011

Mengenal Kekerasan Pada Anak

kekarasan terhadap anak dengan alasan apapun, tidak ada pembenaran terhadapnya. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa setiap hari bahkan setiap menit ada saja anak yang mengalami berbagai macam kekerasan dalam bentuk dan kualitas yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan betapa dominannya orang-orang dewasa terhadap kehidupan anak-anak.

Tindak kekerasan terhadap terjadi hampir di setiap tempat dengan berbagai alasan. di sekolah, di tempat umum, di pasar, bahkan ditempat yang untuk anak sendiri dianggapnya aman, di rumah. Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum manapun. 

kekeraasan terhadap anak merupakan salah satu tindakan nyata terhadap pelanggaran hak-hak dasar anak. tindakan tersebut berdampak pada tumbuh kembang anak kedepannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

akibat dari kekerasan anak itu adalah gangguan pada kelangsungan hidup, perkembangan, perlindungan dan partisipasi anak. Wujudnya bisa berupa luka secara fisik maupun luka secara psikologis. Nah, apa saja bentuk kekerasan anak itu dan apa itu kekerasan anak?

Kekerasan pada anak adalah sebuah tindakan kekerasan secara fisik, mental, sosial, dan seksual yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak yang dilakukan oleh orang lain. Termasuk didalamnya adalah orang tua, keluarga, pendidik masyarakat dan pelaku pemerintah.

Rabu, April 06, 2011

Chidren Employer, The Development and Its Existence


Children according to the convention of children rights, is all human under 18 years old refer to the law which related to children in current country except if the growth that they  reach were faster. Children as a human is a part of the society, which still depends on their parents, and fragile of all kinds of abuse.
Through this article, we want to describe the history of child labor and also their existence in this current era. In this article, the term “child labor” was generally refers to children who work to produce a good or a service which can be sold for money in the marketplace regardless of whether or not they are paid for their work.
In the past time, we can see children who lived on farms worked with animals or in the fields planting seeds, pulling weeds and picking the ripe crops. That is kind of job that children have in their life. There is also discrimination in job description between boys and girls. If the boy looks after the animals, cattle and sheep while the girls milked the cows and cared for the chicken.
There is also another type of employment children, which is children who work for doing household chores (cleaning, cooking, and caring for children and shopping). Children who were employed in this type call as assistant in domestic. They get better situation than children who work in the farm because they worked at home with their parents. This form of child labor was not viewed by the society as cruel or abusive but was accepted as necessary for the survival of their family and the development of the child. Even it affected the number of hours in a month children must work.

Anak dan bingkai kaca kehidupan

Dalam usia perkembangan anak, usia 3-4 tahun merupakan tahun-tahun awal mereka mengecap pintu pendidikan. usia yang seharusnya mereka bermain dengan senangnya, malah dipaksa untuk belajar membaca, belajar berhitung, bernyanyi dan segala rupa. Memasuki usia 5 tahun mereka memasuki sekolah dasar, yang tentu saja mereka akan berkenalan dengan berbagai macam les-les dan kursus-kursus yang semakin kompleks. 

tidak berhenti disitu saja, memasuki usia 12 tahun mereka masuk usia belia, SMP. Mereka akan mulai berkenalan dengan yang namanya realita sosial. Meraka sudah mengenal lawan jenis. Mereka akan mempelajari berbagai macam mata pelajaran. Usia 15 tahun mereka masuk SMA. Mereka sudah mengenal cinta.

Hampir dalam setiap jenjang usia mereka dihabiskan untuk menghitung sekian banyak rumus-rumus yang didapatkan dari guru mereka. Padahal, anak-anak juga butuh sesuatu yang paling mereka minati. Bermain. Yah, anak-anak punya hak untuk itu. Anak-anak punya hak untuk dapat tumbuh kembang dalam keceriaan yang membuat mereka dapat mengenali dirinya lewat interaksi bersama teman-teman mereka dalam sebuah permainan.

Selasa, April 05, 2011

Romantis (?)

Sebenarnya, apa sih yang ada dipikirannya cewek-cewek tentang kata romantis itu? Apakah romantis itu berarti
selalu mengatakan hal yang indah-indah? selalu memuji dirinya? atau setiap hari ada bunga di meja belajarnya? atau,
setiap perkataan yang keluar merupakan untaian kata indah dari Kahlil Gibran?

Sungguh aneh memang. Dalam kamus oxford 7th edition yang tebal itu (sebenarnya karena di kamar gag ada KBBI, hehe), kata Romantic dikatakan sebagai "showing feeling of love" juga sebagai "a beautiful way to that makes you think of love or feel strong emotions". Jadi, sungguh aneh memang jika ada yang mengatakan kalau yang romantis itu adalah yang selalu mengatakan hal-hal indah saja.

ada sebuah kisah yang mungkin saja anda sudah mendengar atau membacanya. Tapi tak mengapa, untuk mengingatkan kita semua bahwa persepsi mungkin saja berbeda akan satu hal, tapi yang kita maksudkan bisa jadi sama.

tersebutlah bahwa ada seorang cewek cantik, yang telah mempunyai seorang kekasih (sayang yah, hehe). Kekasihnya itu bbegitu sibuk dengan urusannya sendiri, sibuk di BEM lah, UKM lah, kuliah, dan sebagainya. Si cewek ini saking jengkelnya dengan kekasihnya sendiri, berniat memutuskan kekasihnya. Kenapa? disamping karena kekasihnya ini super sibuk, dia juga kurang memiliki kepekaan dalam menciptakan suasana yang "Romantis" dalam percintaannya.