Minggu, Oktober 23, 2011

MAS KAWIN : ANTARA CINTA, PRESTISE & MISKONSEPSI

          Perjalanan sebuah kisah cinta memang sangat menarik untuk diceritakan. Sebuah perjalanan yang begitu menantang bagi pasangan mda-mudi agar dapat bersatu didepan altar suci, mengucapkan ikrar untuk tetap setia sehidup semati. Dengan mengesampingkan semua perbedaan yang ada sehingga dihadapan mereka hanyalah keindahan, laksana taman bunga yang menentramkan jiwa.
Alangkah indahnya bagi kita, jika menjadi insan yang sedang dimabuk cinta. Rasanya, bagai dunia ini milik berdua dan yang lainnya hanyalah figuran semata. Namun, hal tersebut hanyalah ungkapan puitis saja. Karena dikehidupan nyata selalu saja ada faktor penghalang bagi bersatunya dua insan yang saling mencinta. Faktor penghalang tersebut ada yang sifatnya fisik seperti harta, jabatan, kaluarga, dsb. Juga ada yang sifatnya non-fisik seperti pranata-pranata yang berlaku dimasyarakat tertentu, status sosial, dan adat istiadat.
Satu hal yang saya sangat tertarik disini adalah melihatnya dari faktor non-fisik terutama dari adat istiadat. Saya melihat peran adat istiadat dalam menyatukan atau bahkan memisahkan dua insan ang saling mencinta ini. Nah, salah satu hal yang terkandung dalam hampir setiap adat istiadat etnik-etnik di Indonesia adalah Mas Kawin. Berbicara mengenai adat istiadat, tak lepas kita membicarakan sikap yang secara fundamental ditonjolkan, yakni masalah etis. Etis adalah sebuah sikap yang mengatur pantas tidaknya sebuah tindakan dilakukan. Oleh karenanya, saya berusaha mengungkapkan begaimana Mas Kawin sebagai bagian dari adat istiadat serta dianggap sebagai sikap yang etis dapat berpengaruh pada hubungan antar dua insan yang saling mencintai.

MAS KAWIN : SELAYANG PANDANG
Sebelum saya paparkan lebih jauh mengenai pengaruh adat istiadat terhadap hubungan dua insan yang saling mencintai, alangkah baiknya jika saya terlebih dahulu menguraikan konsep Mas Kawin menurut pendapat beberapa ahli dan paparan mistis yang terdapat pada berbagai kebudayaan etnik masyarakat yang ada di Indonesia.
Dalam pandangan G.A. Wilken (1847-1891) dikatakan bahwa Bruidschat atau mas kawin adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pihak lelaki kepada kerabat si Gadis pujaannya dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam karena salah seorang gadis diantara mereka dilarikan atau di Bruidschaking (melarikan anak gadis). Karena kalau tidak seperti itu, maka setiap lelaki yang hendak menjadikan seorang Gadis sebagai istrinya, harus mendatangi dan berdiam dirumah sang Gadis. Tentu saja hal ini tidak disenangi dan dirasa menjengkelkan sehingga dirasa perlu untuk melarikannya kerumah lelaki.
 
Meskipun demikian, Wilken berpendapat bahwa mas kawin bukanlah sebagai harga pembelian (koopprijs) melainkan suatu silih (Zoengave). Sehingga jika kita mengikuti alur pikiran Wilken, maka mungkin dapat dikemukakan bahwa mas kawin adalah keseluruhan prosedur penyerahan barang yang oleh adat telah ditentukan untuk diserahkan oleh pihak pria kepada pihak wanita, sesuai dengan lapisan dan kedudukan sosial masing-masing.
Paparan teoritis diatas tentu saja tidak lahir begitu saja, melainkan setelah para ahli melihat fenomena-fenomena yang terjadi dimasyarakat dimana mitos-mitos yang begitu kuat mengakar dalam sendi kehidupan. Ada begitu banyak etnik di Indonesia yang memiliki mitologi menyangkut hidup masyarakat, seperti lahirnya manusia pertama, tumbuhnya bahan pangan bagi manusia, terjadinya ‘incest’ dan akibat-akibatnya, dsb. Atas dasar mitologi ini manusia mengatur langkah tindaknya dan sejalan dengan mitologi itu pulaorang akan membenarkan dan atau menyalahkan tindakan yang diambilnya.
Sehubungan dengan hal itu pula, F.D.E. van Ossenbruggen (1869-1950) memaparkan bahwa dalam mas kawin terdapat nilai magis dan sakti. Dalam adat Bugis-Makassar, istilah mas kawin ini dikenal dengan istilah sompa (Bugis) atau sunrang (Mks). Mas kawin tersebut dapat terdiri atas sawah, kebun, keris pusaka, perahu dan sebagainya yang kesemuanya itu memiliki makna penting dalam kehidupan. Sehingga, harta pemberian ini memiliki fungsi yang khusus, yakni mengembalikan kegoncangan keseimbangan kekuatan sakti dalam kelompok keluarga si Gadis, karena si Gadis diambil keluar dari kelompoknya.

REALITA MASA KINI
Setelah membaca paparan diatas, terutama buah pikiran dari G.A. Wilken yang dengan berani merumuskan bahwa mas kawin bukanlah suatu harga pembelian, apakah sudah ada perubahan atau pandangan baru menyangkut mas kawin itu? Bagaimanakah sikap generasi muda yang dalam uraian ini sebagai subjek sekaligus sebagai objek pembahasan? Serta bagaimana pengaruh mas kawin ini mempengaruhi kisah cinta generasi muda saat ini?
Meskipun sesungguhnya mas kawin itu sudah digariskan oleh adat sehingga wajar jika anggota masyarakat mentaatinya. Namun cukup sering orang-orang yang bersangkutan mengadakan perubahan pada jenis mas kawin tersebut. Misal, dengan menaikkan jumlah dan jenis barang yang akan diserahkan. Ada kalanya seluruh jenis barang yang pada awalnya sudah ditentukan oleh adat seperti jenis perhiasan gading, manik-manik, jumlah kuda dan sebagainya, karena alasan tertentu [1]semuanya itu digantikan dengan nominal rupiah yang bisa saja mencapai jutaan bahkan puluhan juta. Dapat diterka kelanjutannya, pembicaraan kedua pihak yang pada awalnya untuk menentukan mas kawin berubah menjadi arena adu pendapat. Kedua pihak saling bertarung mempertahankan gengsi keluarga besar mereka masing-masing, demi prestise[2].
Pada tahap inilah,cinta yang dibina oleh kedua insan yang saling mencintai mendapatkan cobaan yang berat. Adakalanya, karena gengsi yang terlalu tinggi sehingga mereka yang sedang adu pendapat dalam menentukan besarnya mas kawin, menjadi lupa akan keadaan mereka yang sebenarnya. Bila perlu, walau semua harta akan habis, ludes, asal harga diri tidak diinjak-injak. Karena gengsi ini pula, sehingga terlupakan cinta yang suci yang telah mereka jalin sebelumnya. Tak jarang pula, karena mas kawin yang terlalu tinggi dirasakan oleh pihak lelaki, sehingga sebuah hubungan harus terputus. Sehingga hubungan kekerabatan yang dulunya harmonis, karena persoalan mas kawin ini, harus retak.
Tak dapat dipungkiri bahwa hingga saat inipun, masih sering kita dapati adanya kisah cinta yang harus kandas karena hempasan ombak “mas kawin” yang terlalu tinggi. Besar tingginya mas kawin tersebut sudah diatur dalam adat, yakni semakin tinggi derajat sosial keluarga seorang gadis didalam masyarakat, maka semakin tinggi pula mas kawin yang diperlukan untuk dapat mempersuntingnya. Meskipun untuk hal ini, tetap ada pengecualian terutama bagi etnik-etnik yang mengenal sistem kasta.
Dalam masyarakat modern seperti sekarang, hal tersebut masih sering kita temui dalam masyarakat, terutama masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya feodalisme. Ditambah pula di era serba canggih dan berpendidikan saat ini, semakin tinggi derajat pendidikan sang Gadis, maka semain tinggi pulalah mas kawin yang harus dipersiapkan.
Meskipun demikian, mas kawin bukanlah semata-mata kewajiban dari pihak lelaki semata. Dalam adat istiadat tertentu, seperti  Makassar dikenal istilah pa’matoang. Dimana dalam beberapa hari setelah pernikahan, pengantin baru akan mengunjungi keluarga si suami dan tinggal beberapa lama disana. Dalam kunjungan tersebut, si istri harus membawa pemberian-pemberian kepada seluruh keluarga sang suami. Dalam budaya Makassar sendiri, mas kawin dikenal dengan istilah Uang Balanja atau Uang Panaik atau Sunrang.[3]

PENUTUP
Jika sebagian orang mengatakan kalau mas kawin itu sebagai harga pembelian, hal tersebut dapat dikatakan sebagai akibat salah tafsir terhadap istilah lokal untuk mas kawin tersebut seperti belis (NTT), tukon (Bhs. Jawa), pangoli, boli, tuhor, (Batak), beli (Maluku), balanja (Makassar) yang kesemuanya berarti ‘beli. Salah tafsir tersebut terjadi karena kenyataan bahwa, mas kawin adalah sejumlah barang ataupun uang yang diserahkan kepada keluarga si Gadis untuk dapat memperistrinya. Namun, perlu ditegaskan bahwa mas kawin bukanlah harga pembelian karena :
1.      Seandainya mas kawin merupakan harga pembelian seorang Gadis, maka untuk apa keluarga si Gadis memberi hadiah untuk keluarga lelaki yang datang dengan mas kawin. Jika kenyataannya, hadiah balasan dari pihak Gadis bisa lebih besar dari yang diberikan oleh pihak lelaki.
2.      Besar kecilnya mas kawin telah ditegaskan sesuai dengan kedudukan sosial maupun garis keturunan. Jika terjadi pemberian mas kawin yang tinggi, biasanya itu pertanda sebagai penolakan secara halus. Sebagai tanda pula bahwa anak Gadis mereka bukanlah murahan jadi jangan anggap remeh.
3.      Dalam kenyataan, pada banyak kelompok etnik yang mengenal mas kawin, maka pihak pemberi Gadis dianggap lebih tinggi dan mulia oleh karena itu harus diperlakukan dengan hormat (hal ini kedengarannya sesuai dengan istilah dalam masyarakat, “memberi lebih mulia daripada menerima).

Dalam paparan panjang lebar diatas, terlihat bahwa kepentingan dua insan yang saling mencinta, yang akan saling mengikatkan diri dalam suatu status resmi, tunduk pada keputusan-keputusan yang muncul dari komunitas (etnik) tersebut. Meskpun selalu ditonjolkan bahwasanya keputusan-keputusan tersebut berlandaskan norma-norma warisan leluhur. Tidak dapat dipungkiri bahwa sering terlihat hal-hal yang dimanipulasikan demi gengsi keluarga besar, prestise. Akibatnya, tak jarang berakibat kedua insan yang mencinta terpaksa memutuskan hubungan serta mengambil jalan yang berbeda, jalan masing-masing. Nah, sebagai generasi muda yang nantinya akan menghadapi hal tersebut diatas, sudahkah kita siap menghadapi pranata masyarakat yang siap menghadang dihadapan kita? Semoga kita semua siap.





BIBLIOGRAFI

Daeng, Hans J. 2000. Manusia, kebudayaan dan Lingkungan. Tinjauan Antropologis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta. Djambatan



[1] misalnya barang untuk prosesi sebagai mas kawin untuk saat ini sudah sulit ditemukan, maka digantilah menggunakan nominal rupiah. Jenis barang yang digunakan sebagai mas kawin akan berbeda menurut etnik atau adat yang besangkutan.
[2] Dalam budaya Bugis-Makassar, prestise keluarga akan terangkat jika ada anak gadisnya dipersunting dengan ‘uang panaik’ yang tinggi.
[3] Uang balanja’, ‘uang panaik’, atau ‘sunrang’, diberikan kepada keluarga sang gadis dalam sebuah acara adat yang disebut ‘appakassa’ atau proses penentuan hari baik serta penentuan jumlah mas kawin yang akan diserahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar