Rabu, Oktober 26, 2011

PAK OGAH YANG TAK TAHU OGAH-OGAHAN

            "Yak, woi.. tahan dulu mobil yang dari situ", seru salah seorang pemuda dengan perawakan yang kurus, muka agak sangar, celana penuh tempelan, rambut diikat kebelakang.
            "Sudah aman", jawab temannya, juga dengan tampang yang tak jauh beda.
            "Ya, terusmi bu, terus....terus... Yak", aba-aba pemuda yang pertama memberikan instruksi kepada seorang ibu paruh baya yang bersandar di belakang kemudi toyota Avanza. Kaca mobil depan diturunkan, si ibu paruh baya tersebut mengeluarkan selembar uang dengan gambar seorang pahlawan dari maluku.
            "Terima kasih, bu. Salama'ki", lanjut pemuda itu dengan sopan.

  Pemandangan seperti kejadian di atas bukanlah hal yang asing kita jumpai di ruas jalan kota yang berjuluk Kota Daeng ini. Utamanya sepanjang jalan Urip Sumoharji-Perintis Kemerdekaan. Selain karena memang daerah tersebut terkenal sebagai sarang kemacetan, juga karena adanya berbagai titik bukaan jalan yang diperuntukkan bagi pengguna jalan yang ingin memutar arah. Dengan gaya bak polisi lalulitas, sekelompok pemuda tanpa pekerjaan tetap ini menjaga serta mengatur tertibnya lalu lintas kendaraan serta kendaraan yang hendak memutar arah sebaliknya.
  Kelompok kecil ini biasanya berjumlah antara 3-6 orang personil yang menjaga setiap titik bukaan jalan. 1-2 orang bertugas untuk memberikan isyarat kepada pengguna jalan dari arah yang berlawanan agar dapat memelankan kendaraannya sehingga kendaraan lain bisa memutar arah, 1 orang lagi bertugas memberi arahan atau instruksi kepada pengemudi kendaraan yang hendak berbelok, sisanya bertugas mengumpulkan "hadiah" yang diberikan sebagai balas jasa mereka.
Pak Ogah bisa kaya raya nih...

Bah, sikat pak...

300xputaran, wah pusing ngitungnya....

ini dia nih contoh yang tidak baik bagi anak
  Dalam perkembangan selanjutnya, sekelompok orang yang berprofesi seperti ini dijuluki sebagai "Pak Ogah". Belum diketahui pasti asal-usul mengapa mereka diberi julukan seperti sebuah tokoh boneka dari serial "Si Unyil" ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa akhirnya muncul sekelompok orang yang sepertinya hendak menggantikan tugas polisi untuk mengatur lalu lintas.
   Tugas yang selama ini polisi lalu lintas lakukan yakni, mengatur tertibnya lalu lintas seakan tergantikan oleh aktivitas pak ogah ini. Sangat meresahkan tampaknya jika tugas yang selayaknya dilaksanakan oleh pihak polisi lalu lintas, justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab seperti ini. Sangat dilematis memang, jika disetiap bukaan jalan tersebut kita harus merogoh kocek setidaknya 5 kali dalam sehari, hanya untuk pak ogah ini. Dimana tanggung jawab polisi lalu lintas yang seharusnya menjaga ketertiban serta kelancaran lalu lintas, apalagi terkadang oknum pak ogah ini seakan pilih kasih dalam melakukan tugasnya. Pilih kasih dalam artian bahwa, mereka lebih mendahulukan orang-orang yang memberikan "hadiah" kepada mereka dibandingkan dengan pengguna jalan yang lainnya.
  Di sisi lain, kita sebagai pengguna jalan juga merasa sangat terbantu dengan adanya pak ogah ini karena ketika saat polisi sebagai pengayom masyarakat serta yang seharusnya memberikan rasa nyaman dan aman, justru tidak ada pada saat yang dibutuhkan. Suatu pola prilaku yang sangat bisa dipahami ketika pada pagi hari, polisi memang masih ada di tempat, tapi ketika sinar matahari mulai bersinar terik maka mereka akan mundur teratur menuju tempat peristirahatannya yang nyaman dan sejuk. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan oleh pak ogah sebagai peluang untuk mendapatkan rupiah.
  Selain profesi sebagai pak ogah di atas, kita masih bisa menemui beberapa profesi mulia lainnya  yang juga memiliki rutinitas di jalanan. Mereka itu adalah tukang parkir (baik yang legal maupun yang ilegal). Profesi tukang parkir ini biasanya dilakukan oleh seseorang yang sudah cukup dewasa (mengingat resikonya), meskipun tak jarang juga kita jumpai tukang parkir yang berumur belia. Profesi lainnya yaitu pengatur lalu lintas di persimpangan.
   Ketiga profesi diatas jika diperhatikan sekilas memiliki kesamaan. Mereka yang menggeluti profesi di jalan raya ini sama-sama menganggap dirinya memiliki otoritas yang lebih (setidaknya sama dengan polisi lalu lintas miliki) untuk mengatur tertibnya lalu lintas. Bedanya adalah, jika juru parrkir memang sudah ada perda yang mengatur regulasinya, sebaliknya profesi sebagai pak ogah dan yang satunya lagi jika dilihat dari segi otoritas, merupakan kewajiban dari pihak kepolisian bagian ketertiban lalu lintas.
  Nah, dapat disimpulkan sendiri darimana asal muasal istilah pak ogah ini berasal. Apakah mereka yang memanfaatkan peluang yang ditinggalkan oleh pak polisi yang lebih memilih "ogah-ogahan" di kantornya yang sejuk, atau mereka yang berpanas-panasan demi secuil rupiah dari mereka yang terbantu dari kemacetan kota Makassar ini. Wallahu alam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar