Kamis, Oktober 27, 2011

MAJU BOTAK, SI GONDRONG DI BELAKANG DULU!!! PERANG SARAF DIBELAKANG KONFLIK LATEN MAHASISWA


Kampus merupakan sebuah prototipe sebuah lingkungan masyarakat yang lebih besar. Sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang. Masyarakat kampus yang kemudian disatukan dalam satu universitas kemudian dibagi lagi kedalam berbagai fakultas yang ada, dan didalam fakultas tersebut dibagi lagi kedalam berbagai jurusan berdasarkan pilihan masing-masing mahasiswa sebagai warga masyarakat kampus.
Sangatlah bisa dipahami dalam keanekaragaman mahasiswa dari latar belakang tersebut terjadi konflik-konflik yang berkembang. Latar belakang yang dimaksudkan adalah kondisi eksternal yang bisa memicu terjadinya konflik dalam masyarakat, yaitu SARA. Namun, jika dalam konteks masyarakat kampus penyebab konflik ini bisa saja masalah SARAF. Mengingat permasalahan yang terjadi setiap terjadinya konflik (baca: tawuran) disetiap kampus atau universitas akan berbeda penyebabnya. SARAF merupakan singkatan dari suku, agama, ras dan antar fakultas.
Pasukan garis depan, MABA!

Si gondrong di depan

Terdapat pola-pola tersendiri yang menjadi ciri setiap konflik yang terjadi dalam sebuah institusi pendidikan tinggi. Walaupun pola ini tidak terjadi secara beraturan. Dalam konflik yang terjadi karena masalah suku misalnya, hal yang melatarbelakangi pada awalnya hanya konflik antar individu, yang kemudian meluas menjadi konflik antar suku atau antar daerah. Hal ini sangat serng terjadi mengingat bahwa disekitar wilayah kampus tersebar sekretariat-sekretariat yang mewadahi setiap mahasiswa dari daerah masing-masing atau dikenal dengan nama ORGANDA. Sehingga konflik ini biasanya terjadi diluar lingkungan kampus.

Rabu, Oktober 26, 2011

PAK OGAH YANG TAK TAHU OGAH-OGAHAN

            "Yak, woi.. tahan dulu mobil yang dari situ", seru salah seorang pemuda dengan perawakan yang kurus, muka agak sangar, celana penuh tempelan, rambut diikat kebelakang.
            "Sudah aman", jawab temannya, juga dengan tampang yang tak jauh beda.
            "Ya, terusmi bu, terus....terus... Yak", aba-aba pemuda yang pertama memberikan instruksi kepada seorang ibu paruh baya yang bersandar di belakang kemudi toyota Avanza. Kaca mobil depan diturunkan, si ibu paruh baya tersebut mengeluarkan selembar uang dengan gambar seorang pahlawan dari maluku.
            "Terima kasih, bu. Salama'ki", lanjut pemuda itu dengan sopan.

  Pemandangan seperti kejadian di atas bukanlah hal yang asing kita jumpai di ruas jalan kota yang berjuluk Kota Daeng ini. Utamanya sepanjang jalan Urip Sumoharji-Perintis Kemerdekaan. Selain karena memang daerah tersebut terkenal sebagai sarang kemacetan, juga karena adanya berbagai titik bukaan jalan yang diperuntukkan bagi pengguna jalan yang ingin memutar arah. Dengan gaya bak polisi lalulitas, sekelompok pemuda tanpa pekerjaan tetap ini menjaga serta mengatur tertibnya lalu lintas kendaraan serta kendaraan yang hendak memutar arah sebaliknya.
  Kelompok kecil ini biasanya berjumlah antara 3-6 orang personil yang menjaga setiap titik bukaan jalan. 1-2 orang bertugas untuk memberikan isyarat kepada pengguna jalan dari arah yang berlawanan agar dapat memelankan kendaraannya sehingga kendaraan lain bisa memutar arah, 1 orang lagi bertugas memberi arahan atau instruksi kepada pengemudi kendaraan yang hendak berbelok, sisanya bertugas mengumpulkan "hadiah" yang diberikan sebagai balas jasa mereka.
Pak Ogah bisa kaya raya nih...

Bah, sikat pak...

300xputaran, wah pusing ngitungnya....

ini dia nih contoh yang tidak baik bagi anak
  Dalam perkembangan selanjutnya, sekelompok orang yang berprofesi seperti ini dijuluki sebagai "Pak Ogah". Belum diketahui pasti asal-usul mengapa mereka diberi julukan seperti sebuah tokoh boneka dari serial "Si Unyil" ini. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, mengapa akhirnya muncul sekelompok orang yang sepertinya hendak menggantikan tugas polisi untuk mengatur lalu lintas.

Minggu, Oktober 23, 2011

MAS KAWIN : ANTARA CINTA, PRESTISE & MISKONSEPSI

          Perjalanan sebuah kisah cinta memang sangat menarik untuk diceritakan. Sebuah perjalanan yang begitu menantang bagi pasangan mda-mudi agar dapat bersatu didepan altar suci, mengucapkan ikrar untuk tetap setia sehidup semati. Dengan mengesampingkan semua perbedaan yang ada sehingga dihadapan mereka hanyalah keindahan, laksana taman bunga yang menentramkan jiwa.
Alangkah indahnya bagi kita, jika menjadi insan yang sedang dimabuk cinta. Rasanya, bagai dunia ini milik berdua dan yang lainnya hanyalah figuran semata. Namun, hal tersebut hanyalah ungkapan puitis saja. Karena dikehidupan nyata selalu saja ada faktor penghalang bagi bersatunya dua insan yang saling mencinta. Faktor penghalang tersebut ada yang sifatnya fisik seperti harta, jabatan, kaluarga, dsb. Juga ada yang sifatnya non-fisik seperti pranata-pranata yang berlaku dimasyarakat tertentu, status sosial, dan adat istiadat.
Satu hal yang saya sangat tertarik disini adalah melihatnya dari faktor non-fisik terutama dari adat istiadat. Saya melihat peran adat istiadat dalam menyatukan atau bahkan memisahkan dua insan ang saling mencinta ini. Nah, salah satu hal yang terkandung dalam hampir setiap adat istiadat etnik-etnik di Indonesia adalah Mas Kawin. Berbicara mengenai adat istiadat, tak lepas kita membicarakan sikap yang secara fundamental ditonjolkan, yakni masalah etis. Etis adalah sebuah sikap yang mengatur pantas tidaknya sebuah tindakan dilakukan. Oleh karenanya, saya berusaha mengungkapkan begaimana Mas Kawin sebagai bagian dari adat istiadat serta dianggap sebagai sikap yang etis dapat berpengaruh pada hubungan antar dua insan yang saling mencintai.

MAS KAWIN : SELAYANG PANDANG
Sebelum saya paparkan lebih jauh mengenai pengaruh adat istiadat terhadap hubungan dua insan yang saling mencintai, alangkah baiknya jika saya terlebih dahulu menguraikan konsep Mas Kawin menurut pendapat beberapa ahli dan paparan mistis yang terdapat pada berbagai kebudayaan etnik masyarakat yang ada di Indonesia.
Dalam pandangan G.A. Wilken (1847-1891) dikatakan bahwa Bruidschat atau mas kawin adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pihak lelaki kepada kerabat si Gadis pujaannya dengan tujuan untuk memuaskan hati mereka dan meredamkan rasa dendam karena salah seorang gadis diantara mereka dilarikan atau di Bruidschaking (melarikan anak gadis). Karena kalau tidak seperti itu, maka setiap lelaki yang hendak menjadikan seorang Gadis sebagai istrinya, harus mendatangi dan berdiam dirumah sang Gadis. Tentu saja hal ini tidak disenangi dan dirasa menjengkelkan sehingga dirasa perlu untuk melarikannya kerumah lelaki.

Sabtu, Oktober 22, 2011

IKAN SEBAGAI IKON BARU KORUPTOR: ANALISIS SIMBOL DALAM BEDAH FILM “ALANGKAH LUCUNYA NEGERI INI”

Seekor tikus sedang berlari menghindari penglihatan manusia. Tikus itu berlari kedalam sebuah terowongan air kecil yang sudah sangat dikenalnya. Si tikus terus berada disana, bersembunyi. Tikus memang dikenal sebagai binatang yang pintar bersembunyi, bahkan di tempat yang ramai sekalipun. Tikus ini sangat lihai dalam menyembunyikan dirinya. Ilustrasi tentang tikus diatas hanyalah sebagian kecil dari berbagai ilustrasi yang dapat kita tampilkan dari realita hidup saat ini. Sebuah ilustrasi yang secara tidak langsung menyampaikan sebuah informasi, ide, karakter atau bahkan sifat seseorang berdasarkan simbolisasi yang diberikan.
Dalam sebuah bedah film yang diselanggarakan oleh Ikatan Mahasiswa Sastra Indonesia (IMSI) pada Senin (17/10/11), dengan judul film ‘Alangkah lucunya Negeri ini’ karya Dedi Mizwar, saya melihat ada begitu banyak simbolisasi yang menarik perhatian saya. Salah satunya adalah karakter pemeran calon anggota dewan dari sebuah partai politik dengan nama Partai Asam Lambung, nomor urut 212. Dimana ditampilkan secara berulang, setiap karakter ini muncul dalam adegan bertamu ke rumah gadis idamannya, setiap kali pula dia memamerkan Laptopnya dengan screen saver gambar ikan yang berenang. Hal lainnya yang saya tertarik adalah dalam adegan berikutnya, dia tidak lagi memamerkan screen saver­-nya, melainkan sebuah permainan komputer, Pacman.

Dengan keyakinan bahwa, setiap potongan adegan yang diambil tidaklah diambil begitu saja. Melainkan ada pesan, ada makna yang ingin disampaikan oleh sang sutradara. Bertolak dari penjelasan diatas, setidaknya kita mempunyai tiga simbolisasi yang dapat kita identifikasi, yakni; partai politik dengan nama Parta Asam Lambung dan nomor urut 212, Laptop dengan screen saver ikan yang berenang, serta ada apa dengan permainan Pacman dan mengapa bukan permainan komputer yang lain.