Minggu, Maret 11, 2012

40 Tokoh yang Mewarnai Kampus Merah (PART I : Mahasiswa)


3.    Relegius
Kampus sebagai tatanan masyarakat yang lebih kecil merupakan sebuah refleksi dari masyarakat luar kampus yang lebih besar. Terdapat perbedaan-perbedaan yang kemudian disatukan dalam sebuah lingkungan yang harmonis, salah satu perbedaan tersebut adalah agama dan Islam adalah agama mayoritas di Indonesia dan juga di kampus Unhas.
Sebagai seorang mahasiswa yang sifatnya religius, selain tugas pokok sebagai seorang mahasiswa mereka juga merasa wajib untuk mengajak mahasiswa lainnya untuk selalu berbuat baik (dakwah). Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah adanya anggapan atau persepsi bahwa mahasiswa yang berada dalam ketegori religius ini terkesan tertutup. Mahasiswa dengan ketegori ini akan sangat mudah kita temukan disetiap fakultas yang ada di Unhas, sepertinya mereka memiliki ciri-ciri khusus yang menyebabkannya sangat mudah diidentifikasi.
Ciri-ciri      : Co__ menggunakan peci, kemeja kotak-kotak, celana berbahan kain polos dengan ujung kaki sebatas tumit.
                    Ce__ meula-mula menggunakan jilbab kecil kemudian semakin besar dan akhirnya menggunakan cadar, pola pergaulan yang mereka batasi hanya dengan mereka yang bercadar saja, kalaupun ada tidak seakrab biasanya.

Sabtu, Maret 10, 2012

40 Tokoh yang mewarnai Kampus Merah (masih PART 1: Mahasiswa)


 2. Aktivis
Dunia kemahasiswaan tak pernah lepas dari aktivitas kelembagaan mahasiswa. Sebagai lembaga internal baik itu tingkat fakultas maupun tingkat jurusan, hadir untuk mengikat semua pernedaan. Sebagai salah satu wadah untuk menyatukan mahasiswa sebagai “agent of change”. Sehingga mahasiswa yang kegiatan kesehariannya berporos pada lembaga kemahasiswaan ini biasa disebut sebagai seorang “aktivis” kampus.
Sebagai seorang “aktivis” kampus, tugas tersebut tidak hanya menyoroti permasalahan yang terjadi dalam kampus saja. Lebih dari itu aktivis diharapkan mampu memberikan perubahan dalam masyarakat, memberikan  kritikan terhadap program pemerintah yang diaggap menyengsarakan rakyat, serta memberikan pendidikan politik yyang sehat kepada masyarakat sekitar.
Ciri-ciri  :   Rambut tidak terurus, pakaian lusuh, jeans loreng karena banyyak tambalan, kekelas biasanya mengguanakan sandal jepit (sandal gunung), suka diskusi mengenai topik hangat meskipun itu demi rokok dan kopi, suka berdemo demi kebaikan masyarakat.

40 Tokoh yang mewarnai Kampus Merah (Part I: Mahasiswa)


1.   Mahasiswa biasa-biasa saja
Tiap tahun kampus unhas dipenuhi dengan ribuan wajah-wajah polos yang baru saja menyelesaikan masa SMA-nya. Mereka kemudian memenuhi sejumlah jurusan yang tersebar, mempelajari apa yang mereka geluti hingga bertahun-tahun lamanya.
Tentu perlu persyaratan keahlian bagi tiap-tiap jurusan yang mereka geluti. Syarat yang seharusnya mereka capai sebelum dilepas kedunia nyata seperti soft skill organisasi, keahlian akademik serta indeks nilai kumulatif. Soft skill organisasi didapatkan melalui serangkaian pengkaderan yang dilakukan oleh lembaga kemahasiswaan jurusan masing-masing, dengan memberikan semacam pembekalan baik secara teori maupun dengan praktiknya dalam kegiatan kemahasiswaan. Kemampuan akademik merupakan hal utama yang tentunya ingin dicapai oleh setiap mahasiswa karena untuk itulah mahasiswa belajar. Selanjutnya tentang IPK. Setiap lulusan sebuah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta akan dinilai berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif yang dicapainya sewaktu kuliah. Sehingga, terdapat pola pikir dalam dunia kerja bahwa jika seseorang memiliki IPK yang tinggi maka dia termasuk orang yang pintar, begitupun sebaliknya.
Kriteria diatas mungkin saja akan berbeda bagi tiap-tiap orang. Namun perbedaan tersebut palinng tidak mencakup 2 dari 3 kriteria diatas. Namun bila halnya seorang lulusan perguruan tinggi negeri/swasta lulus tanpa mengantongi 2 dari 3 kriteria tersebut maka pastikanlah bahwa dia hanyalah  mahasiswa biasa-biasa saja, mahasiswa yang “nobody”.
Ciri-ciri :    Malas ikut pengumpulan sewaktu jadi mahasiswa baru, kurang bergaul dengan pengurus himpunan, tugas-tugas boleh nyontek, kekampus ngojek, skripsi pake joki, senyum lebar tanpa dosa.

FENOMENA BAHASA

Fenomena bahasa merupakan fenomena yang menarik untuk kita kaji lebih mendalam. Hal  ini terutama hubungannya dengan bahasa sebagai tindak tutur dalam komunikasi di masyarakat. Secara etimologis, bahasa adalah penggunaan yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks membentuk kalimat yang memiliki arti. Sedangkan secara harfiah, bahasa adalah suatu lambang bunyi yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi satu sama lain.
Bahasa sendiri tak akan berhenti pada suatu titik tertentu saja. Melainkan akan terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karenanya, sering muncul istilah bahwa, suatu bahasa pada saatnya akan dianggap usang pada masa yang akan datang. Apa sebenarnya yang menjadi pembeda bahasa, khususnya bahasa tutur pada masa-masa sebelumnya dengan masa sekarang? Aspek-aspek apa saja yang menjadi pembedanya? Marilah kita mengupasnya satu persatu.
Bukanlah rahasia lagi kalau bahasa itu akan terus berkembang sesuai perkembangan zaman. Sehingga bukanlah hal sepele kalau dikatakan bahwa, jika engkau hendak menaklukkan sebuah negeri, maka kuasailah bahasanya terlebih dahulu. Kita harus sadari bahwa, generasi yang sekarang beda dengan generasi pendahulu, dan tentunya generasi yang akan datang akan berbeda dengan generasi yang sekarang. Bukan hanya dari segi umur, kemampuan teknologi, sains, tetapi juga dalam aspek bahasa dan cara bertutur kata.
Saya tertarik dengan pembagian generasi yang dilakukan di Barat sana. Mereka membagi generasi menjadi generasi Baby Boomers, generasi X, generasi Y, dan generasi Z. Dalam beberapa referensi generasi ini diklasifikasikan berdasar tahun kelahiran. misalnya Pre Baby Boom (lahir pada 1945 dan sebelumnya), TheBaby Boom (lahir antara 1946 – 1964), The Baby Bust (lahir antara 1965 – 1976) – Generasi X, – Generasi Y (lahir antara 1977 – 1997), – Generasi Z/GenerationNet (lahir antara 1998 hingga kini).
Nah, konteks ke-Indonesian mengharuskan saya untuk berpikir dalam kerangka Indonesia juga. Dalam kerangka Indonesia, maka saya membaginya dalam tiga generasi saja, yaitu berdasarkan perkembangan teknologi yang sudah ada. Maka dari itu saya akan fokus ke generasi Y, yaitu generasi sekarang (menurut konteks indonesia, kita ketinggalan 10-15 tahun teknologi).
Fenomena berbahasa tutur untuk generasi saat ini jika kita perhatikan maka akan menemukan ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Lebih terbuka dalam berkomunikasi
2.      Dalam berkomunikasi labih nyaman menggunakan teknologi (HP)
3.      Berani mengungkapkan hal-hal yang dalam masyarakat ditabukan.
Garis besarnya, anak-anak pada generasi saat ini sangat flexible dalam berkomunikasi. Hal ini bisa kita lihat dari penggunaan bahasa-bahasa “alay”, bahasa-bahasa “gaul”, dsb. Mereka pikir dengan menggunakan cara tersebut mereka akan lebih terterima dalam komunitas mereka, dalam masyarakat yang sedang menyanjung perubahan besar-besaran.
Tentu saja jika hal ini tidak dibarengi dengan pengawasan yang berjenjang, maka bukan tidak mungkin bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dijadikan bahasa nasional dan bahasa resmi di negara ini, akan tergerus oleh zaman.
Bukan hanya itu yang menjadi fenomena bahasa yang terjadi di masyarakat pada saat sekarang ini. Saat ini, para politikus sering atau cenderung berbahasa, berekspresi dan bertutur secara samar. Hal ini dimaksudkan untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya yang mereka ingin capai. Fenomena ini menurut pakar ataupun pemikir bahasa terkemuka, Noam Chomsky disebut “Double speak” atau tutur ganda. Saat ini, sering sekali kita mendengar bahasa tutur yang merupakan tutur ganda, ataupun kata-kata yang diperhalus untuk mengurangi kritikan publik. Tengok saja kata “diamankan” sebagai pengganti kata “ditangkap”, “kekurangan pangan” sebagai ganti “kelaparan”. Hal ini tentu saja untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan oleh penggunaan kata ini, yang mungkin saja bagi mereka terdengar “kasar”.
Terdapat juga gejala “panasea”, dimana para politikus di Indonesia menggunakannya sekedar sebagai obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Hal ini begitu menarik untuk kita cermati karena baru-baru ini kita sering kali melihatnya, apalagi kalau bukan euforia sepak bola nasional kita. Sering muncul dalam koran lokal maupun nasional, dikabarkan bahwa meskipun kalah, indonesia tetaplah menang karena tidak terkalahkan di partai kandang. Hal ini dimaksudkan sekedar untuk mengobati hati yang terluka, bak “panase”, atau obat penawar luka yang mujarab.
Hal inilah yang terjadi dalam bahasa publik saat ini. Orang-orang mulai ramai, dari orang yang tingkat ekonominya rendah sampai presiden menggunakan kata kata double speak maupun panasea ini. Hal ini menurut saya diluar dari garis kebenaran. Atau bahkan menyembuunyikan makna yang sebenarnya. Mereka menggunakan bahasa sebagai alat yang eufimisme, dapat dibentuk sesuka hati mereka. Mereka dapat menggunakan bahasa sebagai kontrol politik, sehingga dapat dengan mudah lawan politiknya masuk bui, hanya dengan persoalan bahasa.
Tapi sebelum itu, kita harus pahami bahwa kedua istilah ini sangat berbeda maknanya. Jikalau Double speak ini bisa dikatakan menyembunyikan kenyataan dari kenyataan yang sebenarnya, maka panasea memperindah kenyataan yang tidak mengenakkan sehingga menjadi “enak’ didengar. Hal ini tentu saja berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi di masyarakat saat ini.
***
Sebagai publik speaker, tentunya kita harus jeli untuk memperhatikan fenomena-fenomena bahasa seperti ini. Apalagi jika harus berhadapan dengan orang banyak (publik). Banyak hal yang perlu kita persiapkan, terutama sikap mental dalam menghadapi permasalahan publik. Jika kita sudah mengetahui masalah apa yang kita hadapi, maka dengan begitu kita selangkah lebih dekat dengan solusinya. Juga, sebelum tampil didepan orang banyak untuk berdialog misalnya, kita tentunya harus mengetahui sebelumnya, dengan masyarakat apa kita berhadapan. Sehingga dengan  begitu, dalam berkomunikasi dengan mereka kita bisa menggunakan kata-kata yang tepat dalam berbahasa, berekspresi dan bertutur  kata.
Hal ini cukup penting, dikarenakan profesi publik speaker atau pembicara publik selain dituntut untuk mengetahui banyak hal yang terjadi di dalam masyarakat, juga sebagai fasilitator jika terjadi kesalahpahaman dalam masyarakat tersebut, dan jika gagal, bukan hanya cemoohan yang akan dia dapatkan bagi dirinya dan juga institusi yang diwakilinya, tetapi juga turunnya integritas seorang publik speaker dalam masyarakat pada umumnya.
Mengapa hal ini perlu kita bahas dalam hubungannya dengan fenomena berbahasa dan bertutur, sebab profesi publik speaker begitu dekat dengan masyarakat. Ibarat kata, seorang publik speaker merupakan mata rantai penghubung antara satu komunitas dengan komunitas yang lain, sehingga dengan begitu kita akan saling mengenal budaya, serta bahasa dan kebiasaan lainnya.
Pengetahuan tentang budaya tutur ini begitu penting untuk kita ketahui. Hal ini dapat menunjukkan betapa agungnya budaya tutur di Indonesia pada umumnya. Sehingga, meskipun terpaut berbagai generasi dengan generasi pencetus bahasa indonesia sebagai bahasa nasional, kita masih bisa merasakan manfaatnya hingga saat ini. Sementara bahasa tutur itu sendiri, mengingat betapa banyaknya ragam tutur di Indonesia, sekiranya bisa digunakan sebagai bahan perbandingan untuk bisa dilakukan penelitian lebih lanjut.