Selasa, Mei 24, 2011

Nama & Kekhawatiran hilangnya Budaya Lokal

Sebuah nama merupakan hal yang begitu penting dalam kehidupan. Nama merupakan hal yang membedakan seseorang dengan seseorang yang lainnya. Apalah jadinya jika didunia ini ada orang yang tidak mempunyai nama, maka orang tersebut tidak dapat dikenali, tidak dapat diidentifikasi. Sesuai dengan ungkapan emas sang penulis naskah drama , William Shakespeare, “apalah arti sebuah nama”.
Fungsi utama dari sebuah nama adalah fungsi identifikasi. Nama memiliki fungsi referensial, yang membantu kita mengenali seseorang yang memiliki nama tersebut. Fungsi referensial merupakan suatu fungsi bahasa dimanaApakah dia itu adalah teman, pengamen, tukang bakso, pengacara, suster, atau orang yang baru dan belum kita  kenal. Bahkan lebih jauh, kita dapat mengidentifikasi asal orang tersebut hanya dengan berdasarkan nama mereka.
Cukup jelaslah bagi kita dapat dengan mudah mengidentifikasi nama-nama seperti Sumarno, Tarmiyem, Sartono adalah nama-nama asal Jawa; nama-nama seperti Situmorang, Pakpahan, Simanjuntak adalah nama-nama dengan karakter Batak, Sumatra; dan juga nama-nama seperti Baco’, Becce’, Sitti, Marpu’e adalah nama-nama dengan karakter Bugis-Makassar.
Bukan hal itu saja, pemberian nama-nama tersebut bukanlah langsung diberikan begitu saja. Melainkan dengan serangkaian upacara yang setiap daerah mempunyai adat dan kebudayaan mereka masing-masing dalam pemberian nama. Sehingga pemberian nama ini tidak lepas dari khasanah kebudayaan lokal.
Namun, jika kita melihat konteks kekinian terutama pada budaya Bugis-Makassar, hal ini telah tereduksi secara struktural dimana sebuah nama semakin hilang fungsi referensialnya. Nama-nama dengan karakter lokal semakin tergerus oleh indahnya peradaban asing yang menggerogoti lewat media informasi. Faktor media jugalah seperti televisi yang menyebarkan infotainment yang mengispirasi ibu-ibu muda memberikan nama pada anaknya sesuai dengan karakter yang ada pada sinetron.
Hal ini mengisyaratkan bahwa “nama” bukan lagi sebagai hal yang penting dalam sudut pandang budaya. Dimana semakin lunturnya nama-nama yang menunjukkan identitas sebagai suatu bangsa. Nama-nama seperti Baco’ dan Bacce’ dianggap kuno dalam zaman sekarang ini. Tentu saja ada pertimbangan lain nama-nama diatas kurang disukai oleh masyarakat Bugis-Makassar, terutama dari sudut pandang apakah nama itu tidak menimbulkan rasa malu dikemudian hari bagi pemiliknya (Prestisius atau tidak).
Ternyata bukan hanya hal tersebut yang terjadi sehubungan dengan fungsi nama yaitu fungsi referential. Kadangkala dalam sebuah komunitas, "nama" indah yang diberikan tereduksi oleh ciri-ciri fisik yang dimiliki empunya nama. Contoh dalam aktivitas mahasiswa di kampus, kita memanggil "kribo" kepada orang-orang yang memiliki rambut keriting yang merupakan ciri fisiknya. Tentu saja hal ini juga termasuk fungsi referential, namun belum bisa dikategorikan secara substansial dari yang kita bahas sebelumnya.
Tentunya anda pernah mendengar nama "I Mallombasang daeng Mattawang" atau "Karaeng Pattingalloang", nama-nama lokal yang mempunyai pengaruh besar dalam mengangkat khasanah lokal. Terlepas dari fungsi referential sebuah nama yang langsung mengarahkan kita bahwa orang yang dimaksud pasti berdarah Makassar. Sangat jauh berbeda dengan kondisi sekarang dengan menjamurnya teknologi informasi yang telah membri andil dalam pemberian "nama non-referntial" bagi anak-anak yang lahir di zaman baru.
Alangkah besar tanggung jawab kita sekarang, ditengah gencaran infotainment dan acara TV lainnya, mampukah kita mempertahankan khasanah budaya lokal yang semakin tereduksi? Alangkah indahnya jika kita ikut andil dalam pelestarian budaya lokal, dimulai dari sebuah nama. Bagaimana Baco?